Senin, 05 Mei 2014

ETIKA BIROKRASI DALAM ADM.PEMBANGUNAN

Masalah Etika dalam Birokrasi Pembangunan

Uraian di atas mencoba menunjukkan bahwa masalah etika dalam administrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekali pun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usia nya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya. Di negara-negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal itu. Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya, yang terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalahmasalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar. Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di negara-negara berkembang seperti antara lain sebagai berikut.
Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum. Negara-negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak dapat melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan keberadaannya berbeda dengan administrasi dalam negara yang merdeka. Juga tidak bisa merujuk pada administrasi prakolonial, seperti, dalam hal kita, administrasi kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau pun Mataram yang lebih baru, yang sama sekali tidak relevan untuk keadaan masa kini. Juga kita tidak bisa meniru begitu saja administrasi yang sudah “matang” di negara maju, karena adanya perbedaan pada tingkat kemajuan ekonomi maupun sosial, dan latar belakang budaya.
Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana peme rintah.
1. Tidak ada orang yang membantah bahwa ilmu administrasi berkembang di Amerika, dan menjadi rujukan bagi pengembangan ilmu ini di semua negara lainnya, termasuk di Indonesia.
Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Baru belakangan ini saja negaranegara berkembang berupaya menerapkan dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem politiknya. Itu pun masih banyak ragamnya dan masih banyak masalahnya.
Dalam keadaan demikian, administrasi secara politis berperan lebih besar dibandingkan dengan di negara yang sistem demokrasinya telah lebih maju. Peran politik yang besar itu, acapkali tidak diimbangi dengan kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi. Dalam suasana demikian, maka alokasi kekuasaan berjalan secara tertutup, dan tidak terkendali oleh sistem konstitusi, sistem demokrasi, dan sistem hukum. Dengan sendirinya sistem yang demikian (atau ketiadaan sistem yang juga merupakan sistem tersendiri) akan mengabaikan etika, dan menjadi lahan subur untuk berkembangnya penyalahgunaan kekuasaan, kolusi, korupsi, dan sebagainya.
Dengan demikian, masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah maju, yang dari uraian di atas juga kita ketahui sudah cukup rumit. Dengan kata lain, variabelnya lebih luas dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah pekerjaan mudah. Oleh karena itu pula, dapat dipahami bahwa rasa kecewa, bahkan frustasi, terutama di kalangan berbagai kelompok elit ma syarakat di negara berkembang terhadap birokrasinya jauh lebih keras dan vokal dibandingkan dengan di negara maju (yang juga sudah cukup keras dan vokal itu).
Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika organisasi adalah pe kerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental. Ia harus terkait dengan pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan.
Keberhasilan dan kemajuan pembangunan administrasi akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dan kemajuan pembangunan sosial ekonomi. Sebaliknya, kemajuan sosial ekonomi sangat tergantung dari kemampuan administrasi dalam menyelenggarakan tugas-tugas pembangunan. Dengan demikian, keduanya berkaitan sangat erat dan satu sama lain saling memperkuat.
V. Etika Birokrasi dalam Era Globalisasi
Setelah mengenali penyakit birokrasi yang dihadapi negara berkembang pada umumnya, kita bisa memilih salah satu dari dua alternatif. Pertama , “santai-santai” saja, karena perbaikan birokrasi berlangsung secara evolutif dan tidak bisa dipaksakan. Kedua, berupaya keras. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi, diupayakan untuk mempercepat proses perbaikan administrasi.
Saya memilih alternatif yang kedua. Ada beberapa alasan mengapa kita harus mencambuk diri untuk melompat maju dalam membangun administrasi.
Pertama, ekonomi Indonesia sekarang ada pada ambang (threshold) untuk meningkat dari ekonomi berpendapatan rendah menjadi ekonomi berpendapatan menengah. Secara struktural sedang terjadi perubahan dari ekonomi, dengan basis agraris, ke ekonomi dengan basis industri.
Kedua, selain transformasi ekonomi, juga terjadi trans formasi budaya dalam masyarakat kita, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Ketiga, sebagai akibat dari keduanya masyarakat Indonesia telah teremansipasi dan telah mulai melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan. Derajat pendidikan dan kesehatan warga telah meningkat, berarti pula kecerdasan, harapan, dan tuntutannya. Masyarakat yang demikian tidak akan sabar dengan perbaikan yang berjalan lambat, terutama dalam birokrasi, yang menjadi tumpuan harapan perbaikan kehidupannya. Akibatnya, dapat meningkatkan ketegangan-ketegangan dan friksi-friksi sosial.
Keempat, globalisasi akan meningkatkan kadar keterbukaan dan kadar informasi bangsa Indonesia, dan akan lebih meningkatkan lagi wawasan, kesadaran dan pengetahuannya, dan dengan sendirinya harapan-harapan dan tuntutan-tuntutannya.
Kelima, liberalisasi perdagangan dan integrasi pandangan dunia, membuka peluangpeluang baru dan memberikan harapan-harapan baru untuk membangun kehidupan yang lebih baik, secara dipercepat. Namun, hal itu juga dapat membawa malapetaka apabila peluangpeluang tersebut kita tidak mampu memanfaatkannya. Kuncinya adalah daya saing. Oleh karena itu, me ningkatkan daya saing adalah tantangan dan harus menjadi agenda pembangunan yang utama dalam memasuki abad ke-21. Daya saing ditentukan oleh dua hal, produktivitas dan efisiensi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan efisiensi berkaitan dengan aspek kelembagaan. Dalam membangun kelembagaan yang efisien ini peran administrasi pemba ngunan teramat penting.
Semuanya itu, menuntut birokrasi pembangunan yang mampu mendukung proses perubahan itu dan aspirasi yang berkembang bersamanya. Birokrasi seperti apa adanya, dalam kondisi seka rang ini, meskipun telah banyak kemajuannya, tidak akan memadai. Harus ada perbaikan, dan perbaikan itu harus terwujud dengan nyata dalam administrasi yang lebih berkualitas dan birokrasi yang bekerja lebih baik.
Berkaitan dengan etika birokrasi, untuk kepentingan kita, harus diupayakan untuk menerapkan kedua pendekatan baik yang bersifat teleologis maupun deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia -manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan.
Seperti yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, birokrasi kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial, yang akan tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan regime value, birokrasi kita harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, birokrasi harus menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang bertentangan dengan konstitusi.
2. Pembangunan memerlukan investasi. Keputusan dunia usaha untuk mengadakan investasi di suatu negara, ditentukan oleh bagaimana mereka memperhitungkan kemungkinan keuntungannya dan risiko kegagalannya. Risiko kegagalan diperhitungkan melalui berbagai faktor, yang penting di antaranya adalah transparansi dan kepastian, yang kesemuanya terkait erat dengan pekerjaan birokrasi. Selain itu daya saing dipengaruhi oleh biaya-biaya, dan biaya berusaha yang tinggi karena kelembagaan yang tidak efisien menyebabkan menurunnya daya saing.
Selain itu, birokrasi kita juga harus berorientasi pada hasil (result oriented).
Kebijakan dan tindakannya harus menjamin bahwa hasilnya adalah yang terbaik buat masyarakat. Ia harus mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingannya sendiri.
Akhirnya, saya ingin menutup uraian ini dengan mengemukakan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia dan dengan demikian birokrasi kita, telah memiliki pedoman etika dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Nilai-nilai dasarnya adalah Pancasila. Karena Pancasila itu sendiri merupakan rangkuman nilai-nilai yang bersifat sangat umum, maka untuk upaya penghayatan dan penga malannya telah ada kesepakatan yang dituangkan dalam ketetapan dari lembaga yang memegang kedaulatan rakyat, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pedoman etika itu adalah apa yang kita kenal sebagai Eka Prasetya Panca Karsa, atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Sesungguhnya kalau norma -norma itu dapat diamalkan banyak sudah masalah etika yang terselesaikan dalam birokrasi kita. Dalam pedoman itu dikenali hakekat manusia sebagai mahluk pribadi dan mahluk sosial, dan kunci bagi perilaku yang dikehendaki adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri dan kepentingannya agar dapat melaksanakan kewajiban sebagai warga negara dan warga masyarakat. Dengan sikap itu, diupayakan untuk melaksanakan sila-sila Pancasila, baik seba gai sila-sila yang berdiri sendiri maupun sebagai satu kesatuan yang utuh.

Tidak ada komentar: