Masalah Etika dalam Birokrasi Pembangunan
Uraian di atas mencoba menunjukkan bahwa masalah etika dalam administrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekali pun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usia nya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya. Di negara-negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal itu. Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya, yang terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalahmasalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar. Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di negara-negara berkembang seperti antara lain sebagai berikut.
Pertama, belum
tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya masalah
etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan
administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti
kaidah-kaidah yang berlaku umum. Negara-negara itu tidak mempunyai
banyak rujukan, karena tidak dapat melanjutkan administrasi yang berasal
dari masa kolonial, yang tujuan keberadaannya berbeda dengan
administrasi dalam negara yang merdeka. Juga tidak bisa merujuk pada
administrasi prakolonial, seperti, dalam hal kita, administrasi kerajaan
Majapahit atau Sriwijaya, atau pun Mataram yang lebih baru, yang sama
sekali tidak relevan untuk keadaan masa kini. Juga kita tidak bisa
meniru begitu saja administrasi yang sudah “matang” di negara maju,
karena adanya perbedaan pada tingkat kemajuan ekonomi maupun sosial, dan
latar belakang budaya.
Kedua, adanya
keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan
administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu
adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM
administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan
profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah
karena keterbatasan dana peme rintah.
1. Tidak
ada orang yang membantah bahwa ilmu administrasi berkembang di Amerika,
dan menjadi rujukan bagi pengembangan ilmu ini di semua negara lainnya,
termasuk di Indonesia.
Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Baru
belakangan ini saja negaranegara berkembang berupaya menerapkan dengan
sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem politiknya.
Itu pun masih banyak ragamnya dan masih banyak masalahnya.
Dalam
keadaan demikian, administrasi secara politis berperan lebih besar
dibandingkan dengan di negara yang sistem demokrasinya telah lebih maju.
Peran politik yang besar itu, acapkali tidak diimbangi dengan kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi. Dalam
suasana demikian, maka alokasi kekuasaan berjalan secara tertutup, dan
tidak terkendali oleh sistem konstitusi, sistem demokrasi, dan sistem
hukum. Dengan sendirinya sistem yang demikian (atau ketiadaan sistem
yang juga merupakan sistem tersendiri) akan mengabaikan etika, dan
menjadi lahan subur untuk berkembangnya penyalahgunaan kekuasaan,
kolusi, korupsi, dan sebagainya.
Dengan
demikian, masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun
jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah
maju, yang dari uraian di atas juga kita ketahui sudah cukup rumit. Dengan
kata lain, variabelnya lebih luas dan ketidakpastiannya lebih besar.
Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang berpendapat bahwa
memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah pekerjaan mudah. Oleh
karena itu pula, dapat dipahami bahwa rasa kecewa, bahkan frustasi,
terutama di kalangan berbagai kelompok elit ma syarakat di negara
berkembang terhadap birokrasinya jauh lebih keras dan vokal dibandingkan
dengan di negara maju (yang juga sudah cukup keras dan vokal itu).
Upaya
memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika
sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika
perorangan maupun etika organisasi adalah pe kerjaan yang memerlukan
kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler,
tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental. Ia harus terkait dengan pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan.
Keberhasilan
dan kemajuan pembangunan administrasi akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan dan kemajuan pembangunan sosial ekonomi. Sebaliknya,
kemajuan sosial ekonomi sangat tergantung dari kemampuan administrasi
dalam menyelenggarakan tugas-tugas pembangunan. Dengan demikian, keduanya berkaitan sangat erat dan satu sama lain saling memperkuat.
V. Etika Birokrasi dalam Era Globalisasi
Setelah
mengenali penyakit birokrasi yang dihadapi negara berkembang pada
umumnya, kita bisa memilih salah satu dari dua alternatif. Pertama , “santai-santai” saja, karena perbaikan birokrasi berlangsung secara evolutif dan tidak bisa dipaksakan. Kedua,
berupaya keras. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi,
diupayakan untuk mempercepat proses perbaikan administrasi.
Saya
memilih alternatif yang kedua. Ada beberapa alasan mengapa kita harus
mencambuk diri untuk melompat maju dalam membangun administrasi.
Pertama, ekonomi Indonesia sekarang ada pada ambang (threshold)
untuk meningkat dari ekonomi berpendapatan rendah menjadi ekonomi
berpendapatan menengah. Secara struktural sedang terjadi perubahan dari
ekonomi, dengan basis agraris, ke ekonomi dengan basis industri.
Kedua,
selain transformasi ekonomi, juga terjadi trans formasi budaya dalam
masyarakat kita, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Ketiga,
sebagai akibat dari keduanya masyarakat Indonesia telah teremansipasi
dan telah mulai melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan. Derajat
pendidikan dan kesehatan warga telah meningkat, berarti pula kecerdasan,
harapan, dan tuntutannya. Masyarakat yang demikian tidak akan sabar
dengan perbaikan yang berjalan lambat, terutama dalam birokrasi, yang
menjadi tumpuan harapan perbaikan kehidupannya. Akibatnya, dapat
meningkatkan ketegangan-ketegangan dan friksi-friksi sosial.
Keempat,
globalisasi akan meningkatkan kadar keterbukaan dan kadar informasi
bangsa Indonesia, dan akan lebih meningkatkan lagi wawasan, kesadaran
dan pengetahuannya, dan dengan sendirinya harapan-harapan dan
tuntutan-tuntutannya.
Kelima,
liberalisasi perdagangan dan integrasi pandangan dunia, membuka
peluangpeluang baru dan memberikan harapan-harapan baru untuk membangun
kehidupan yang lebih baik, secara dipercepat. Namun, hal itu juga dapat
membawa malapetaka apabila peluangpeluang tersebut kita tidak mampu
memanfaatkannya. Kuncinya adalah daya saing. Oleh karena itu, me
ningkatkan daya saing adalah tantangan dan harus menjadi agenda
pembangunan yang utama dalam memasuki abad ke-21. Daya saing ditentukan
oleh dua hal, produktivitas dan efisiensi. Produktivitas ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusia dan efisiensi berkaitan dengan aspek
kelembagaan. Dalam membangun kelembagaan yang efisien ini peran
administrasi pemba ngunan teramat penting.
Semuanya
itu, menuntut birokrasi pembangunan yang mampu mendukung proses
perubahan itu dan aspirasi yang berkembang bersamanya. Birokrasi seperti
apa adanya, dalam kondisi seka rang ini, meskipun telah banyak
kemajuannya, tidak akan memadai. Harus ada perbaikan, dan perbaikan itu
harus terwujud dengan nyata dalam administrasi yang lebih berkualitas
dan birokrasi yang bekerja lebih baik.
Berkaitan
dengan etika birokrasi, untuk kepentingan kita, harus diupayakan untuk
menerapkan kedua pendekatan baik yang bersifat teleologis maupun
deontologis. Kita menginginkan birokrasi yang terdiri atas manusia
-manusia yang berkarakter. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan
akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat dan
mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus
ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan
kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir
ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat,
meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan
dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai
kebenaran dan kebajikan.
Seperti
yang dicita-citakan oleh kaum “Administrasi Negara Baru”, birokrasi
kita hendaknya memiliki pula semangat keadilan sosial, yang akan
tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah dalam kebijakan-kebijakan
dan tindakan-tindakannya. Selanjutnya seperti dianjurkan oleh pandangan
regime value, birokrasi kita harus berpegang teguh kepada
konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Sebaliknya, birokrasi
harus menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional
apalagi yang bertentangan dengan konstitusi.
2. Pembangunan
memerlukan investasi. Keputusan dunia usaha untuk mengadakan investasi
di suatu negara, ditentukan oleh bagaimana mereka memperhitungkan
kemungkinan keuntungannya dan risiko kegagalannya. Risiko kegagalan
diperhitungkan melalui berbagai faktor, yang penting di antaranya adalah
transparansi dan kepastian, yang kesemuanya terkait erat dengan
pekerjaan birokrasi. Selain itu daya saing dipengaruhi oleh biaya-biaya,
dan biaya berusaha yang tinggi karena kelembagaan yang tidak efisien
menyebabkan menurunnya daya saing.
Selain itu, birokrasi kita juga harus berorientasi pada hasil (result oriented).
Kebijakan
dan tindakannya harus menjamin bahwa hasilnya adalah yang terbaik buat
masyarakat. Ia harus mendahulukan kepentingan umum di atas
kepentingannya sendiri.
Akhirnya,
saya ingin menutup uraian ini dengan mengemukakan bahwa sesungguhnya
bangsa Indonesia dan dengan demikian birokrasi kita, telah memiliki
pedoman etika dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Nilai-nilai dasarnya adalah Pancasila. Karena Pancasila itu sendiri
merupakan rangkuman nilai-nilai yang bersifat sangat umum, maka untuk
upaya penghayatan dan penga malannya telah ada kesepakatan yang
dituangkan dalam ketetapan dari lembaga yang memegang kedaulatan rakyat,
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pedoman etika itu adalah
apa yang kita kenal sebagai Eka Prasetya Panca Karsa,
atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Sesungguhnya
kalau norma -norma itu dapat diamalkan banyak sudah masalah etika yang
terselesaikan dalam birokrasi kita. Dalam pedoman itu dikenali hakekat
manusia sebagai mahluk pribadi dan mahluk sosial, dan kunci bagi
perilaku yang dikehendaki adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk
mengendalikan diri dan kepentingannya agar dapat melaksanakan kewajiban
sebagai warga negara dan warga masyarakat. Dengan sikap itu, diupayakan
untuk melaksanakan sila-sila Pancasila, baik seba gai sila-sila yang
berdiri sendiri maupun sebagai satu kesatuan yang utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar